Embun masih menemani daun-daun di pagi ini, bahkan matahari saja hanya memperlihatkan separuh tubuhnya, tetapi sepatuku sudah mencium bau aspal yang hitam pekat itu. aku melangkah sedikit ragu ke sebuah rumah yang hanya berjarak satu meter dari rumahku, lampu ruang tamunya masih padam, bertanda penghuni rumah ini masih belum beraktivitas. Dengan mengadakan perang batin sejenak, akhirnya kuberanikan diri untuk menekan bel rumah ini. Sekali, tak ada jawaban. Kedua kali, juga tak ada yang membukakan pintu untukku.
“Huh” aku mendengus kesal. Ku tekan digit-digit nomor di telpon genggamku.
“Halo…” jawab orang di seberang sana.
“Apa tunggu aku pinsan sambil berdiri, baru kamu akan membukakan pintu untuk ku?” kataku sedikit sinis.
“ Hehehe, iya maaf sayang, aku nggak dengar. Tunggu sebentar ya?” kata Nica dengan sedikit dibuat manja. Tak lama seorang gadis cantik, dengan kulit hampir seputih bengkoang, berambut panjang membuka pintu sambil tersenyum.
“ Hah, kau membuatku kesal” kataku sinis.
“Uhm, masa sih? Gossip-gosip yang aku dengar di sekolah, orang-orang nggak bisa marah sama aku, setiap kali lihat senyumku”
“Nica, bercandalah sesukamu, aku tetap kesal” aku langsung membalikkan badan dan berjalan duluan. Tiba-tiba Nica menggenggam tanganku, lalu dia memberiku sebuah permen lollipop. Curang, kalau sudah begini aku tidak bisa marah lagi padanya.
“ Maaf ya fitri , aku tadi lagi sarapan di dapur, jadinya ya aku nggak dengar suara bel, lagipula orang di rumah masih pada tidur, hari ini kan kita pergi pagi banget” kata Nica menjelaskan dengan lembutnya. Hari ini kami memang pergi ke sekolah lebih pagi dari biasanya,Hal itu di karenakan kemarin aku dan Nica menemukan sebuah kelinci nyasar yang sangat lucu di dekat pos satpam perumahan kami. tapi aku dan Nica nggak diberi izin memelihara hewan di rumah, makanya kami berdua berencana untuk merawatnya disana. Pagi ini aku dan Nica akan memberinya makanan. Itulah alasan kami pergi sepagi ini.
“Iya, iya aku paham” kataku sambil mengambil permen itu. Aku dan Nica adalah sahabat sejak berumur lima tahun, waktu itu Nica baru pindah ke perumahan ini. Dia adalah teman SD dan SMP ku, namun waktu SMA sekolah kami berbeda tapi kami tetap pergi ke sekolah bersama, dikarenakan SMA kami bersebelahan. Dulu dia gadis yang sangat manja, semua yang dia mau harus diruti. Tetapi saat ini Nica berubah, dia menjelma menjadi gadis yang dewasa. ketika umur kami beranjak sepuluh tahun, seorang musuh di sekolahku memberi jepitan rambut miliknya kepada Nica, tentu saja itu tidak percuma, syaratnya Nica harus menyembunyikan pekerjaan rumah yang sudah ku buat semalam suntuk. Ibu guru marahin aku habis-habisan, sehingga aku tidak mau pergi ke sekolah selama satu minggu. Waktu tau itu perbuatan Nica, aku nggak mau menegurnya, nggak mau bermain dengannya, nggak menoleh kan pandangan sedikitpun ke dia. Rupanya itu jadi beban untuk dia, hingga dia merasa salah. Dia memberiku seratus permen lollipop, dan dengan air mata dia meminta maaf padaku. Aku masih ingat kata-kata yang aku ucapkan pada saat itu “Ketahuilah, aku memaafkan mu, tapi kamu ingat jangan pernah berpikir mewujudkan semua yang kita mau, apalagi dengan berbuat jahat, dan tidak semua yang kita mau akan menjadi kenyataan. Jangan ulangi lagi” Dia memelukku, nggak mau melepaskan hingga kami berdua tertidur. Lucu jika mengingat wajahnya hari itu. Semua tentang Nica aku tau, dia pun begitu.. Tetapi ada satu hal yang membuat ku penasaran hingga hari ini. Mengapa ayahnya memberi nama Punica Granatum?. Angkot kami sudah berhenti tepat di depan gerbang sekolah.
“Nica” panggil ku. “Ada apa?”
“Kenapa sih namamu aneh?”
“Entahlah, aku nggak pernah tau dan nggak ingin tau, yang pasti nama itu indah” jawabnya santai. “Oh iya, ngomong-ngomong hari ini Okta ngajak aku ngobrol pulang sekolah” kataku dengan wajah yang merah merona. “Oh ya?”
“Iya, dia baru sms aku tadi malam”:
“Petunjuk bagus fit”
“Maksudmu?” tanyaku tidak mengerti. “berarti kalian bakal pacaran”
“hah? Sok tau banget sih. Kayaknya nggak deh”
“tukan pesimis lagi. Aku doakan hari ini kamu dapatin cintanya, tapi kalau beneran pacaran, jangan lupakan sahabatmu tercinta ini”
“nggaklah, kamu itu jauh lebih penting dan berharga daripada cowok manapun di dunia ini”
“ehehhe, jadi terharu. Kamu juga, pukul empat kutunggu di pos satpam ya” katanya sambil berlalu dari hadapanku.“Iya” jawabku seadanya.
Aku mempercepat langkah. Karena terlalu asik bergabung dengan alam mimpiku setelah pulang sekolah. Aku jadi terlambat pergi ke tempat Mumu, kelinci peliharaan baru kami itu. Pasti Nica sudah duluan ada di sana. Benar, Nica sudah ada di sana, dia sedang asik ngobrol dengan pak Satya sambil memberi makan Mumu.“Maaf Nica aku telat” kataku dengan nafas yang naik turun.“nggak apa-apa fit, ini!” kata Nica dengan senyum yang sangat hangat, sambil memberikan sebotol air mineral. “Tapi ini bukan bekas Mumu minum kan?” tanyaku penasaran.
“Ya bukanlah sayang” katanya sambil menggelengkan kepala. Aku langsung meneguk air di tanganku, lalu aku duduk di sebelahnya, sambil mengelus Mumu. Diam menyelimuti kami. Menjadi atmosfer yang membelenggu. Tiba-tiba Nica membuka pembicaraan. “Kha….” Tapi aku dengan tidak sopannya memotong omongannya. “Aku jadian, aku punya pacar” kataku sambil tersenyum bahagia.
“Oh ya? Bagus kalau gitu sayang” katanya ikut tersenyum.
“Dia ngasih aku boneka yang lucu, aku senang banget Nic, rasanya kayak mimpi” wajahku merah. Tanpa sepengetahuanku saat ini hati Nica sedang terluka.
**
“Kring…kring..” suara bel telepon menderu di rumah Nica.“Halo” sapa seorang wanita, yang suaranya sudah sangat aku kenal.“Tante Nicanya ada?” tanyaku sopan.“Ada fit, sebentar ya tante panggilkan” kata mama Nica dengan suara yang lembut.“Iya” jawabku seadanya. Tak lama aku menunggu, suara Nica sudah terdengar di ujung telepon.
“A..ada apa Kha?” Tanya Nica sedikit terbata. “Kamu sakit?” tanyaku
“nggak” jawabnya pelan.“Oh, Nica kayaknya besok nggak bisa pergi bareng ke sekolah, sih Okta maksa banget mau jemput aku”
“Oh gitu, ya sudah nggak apa-apa, ta…tapi besok kamu ke tempat Mumu kan?” tanyanya dengan suara yang semakin pelan.“Mungkin nggak bisa juga, soalnya Okta ngajak aku makan malam minggu besok, jadi aku sudah harus mempersiapkan diri mulai sore deh, sekali lagi aku minta maaf ya?”
“I..iya” jawabnya singkat, lalu tidak berapa lama aku pamit untuk menghentikan telepon.
“kamu nggak cerita masalahmu kepadanya?” Tanya kak Nurul pada Nica. “Hiks…hiks… ng..nggak” jawab Nica sambil nangis.“Kenapa? Aku pikir mungkin kamu akan lebih tenang dengan berbagi cerita dengan dia ? Dia sahabatmu kan!?”
“Aku nggak mau membebaninya dengan masalahku, aku nggak mau merusak kebahagiaanya” kata Nica lebih tenang. “Dia aja selalu cerita ini itu sama kamu,nggak perduli kamu lagi sedih atau senang” kata kak Nurul sedikit sinis, yang hanya dijawab diam oleh Nica.
⃰⃰⃰⃰ ⃰ ⃰
Suara mobil ambulans membahana ke seluruh sekolahku, aku dan para penghuni di sekolah terkejut dengan kedatangan mobil yang sama sekali nggak kami undang. Ternyata mobil ambulans itu datang ke sekolah Nica, tiba-tiba perasaan khawatir menyergap di dalam diriku. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang salah dari kedatangan mobil itu. “ Siapa yang sakit?Nica? apa penyakit asmanya kambuh?” pertanyaan itu bersarang dalam kepalaku, membuatku nggak bisa berpikir dengan tenang. Aku tekan tombol-tombol nomor Nica. nggak aktif. Aku ketik sebuah pesan singkat untuknya.“Nica, ada apa di sekolahmu?” pesan tertunda. Aku semakin gelisah.
“fitri” panggil seseorang tiba-tiba dari belakang.“ Okta” jawabku
“Ada apa ya di SMA sebelah?” Tanya Okta padaku. “nggak tau” jawabku sambil menggelengkan kepala.“Oh, tapi kenapa wajahmu pucat?” tanyanya lembut. Ah kata-kata yang selalu keluar dari Okta selalu membuatku bahagia.
“ Aku takut Nica kenapa-napa, soalnya Nica punya asma”
“Tenang ya, semoga nggak terjadi apa-apa sama dia” kata Okta sambil menggenggam tanganku. ”aku senang” kataku dalam hati. bagiku dialah obat penenang terbaik untukku.
Bel pulang sekolah sudah menampakkan diri. Semua murid-murid sudah keluar dari kelasnya masing-masing. Setelah aku keluar dari kelas, aku langsung menuju tempat penjaga sekolah. Di sana Okta sudah menungguku dengan motornya.
“ gimana pelajarannya?” Tanya Okta ketika aku sudah sampai didekatnya.
“Ya begitulah, tadi aku ulangan matematika. Syukurnya bisa” kataku sambil tersenyum. “Oh , baguslah. Ya sudah monggoh atuh neng, naik ke motor akang” kata Okta jail. “Hehehe” aku tersenyum. Oktapun langsung menyalakan motornya, aku nggak sengaja melihat ke arah sekolah Nica, di dekat gerbang sekolahnya Yanto, pacar Nica sedang duduk sendirian di motor.
“Okta, berhenti sebentar” kataku sambil menepuk bahunya. “Ada apa?” tanyanya bingung. Aku nggak menghiraukan apa yang Okta tanyakan padaku, aku langsung turun dari motor dan menuju ke tempat Yanto.
“Yan” sapaku pelan bertujuan untuk nggak mengejutkannya.
“Eh..fit”
“Hi, apa kabar?”tanyaku basa-basi. “Baik, kamu?”
“Baik juga, oh ya tadi itu ada apa? Kenapa ada mobil ambulans?”tanyaku pada Yanto. Mendengar pertannyaanku Yanto hanya terdiam, wajahnya langsung berubah kaget. “Yan, kamu baik-baik aja?” tanyaku bingung. “I..iya. tadi..tadi itu ada anak yang jatoh dari tangga, kakinya patah” katanya terbata-bata. “Oh” jawabku singkat, walau aku nggak percaya padanya. Ada sesuatu yang aneh dari sikap Yanto. Tapi aku nggak mau berpikir yang macam-macam.
⃰ ⃰ ⃰
“Tok…tok” seseorang mengetuk pintu kamar 456 di sebuah rumah sakit yang cukup besar di Samarinda. Tidak ada yang tahu, perasaan khawatir menyelinap dalam ketokan orang itu. Membuatnya ragu. Tiba-tiba seorang wanita berjilbab membukakan pintu, ketika melihat siapa tamu yang datang itu, dia langsung memberikan senyum kewibawaannya sebagai seorang ibu.
“ Yanto, barusan saja Nica sadar “ kata mama Nica lembut. “Tante apa saya boleh masuk ke dalam?” Tanya Yanto dengan suara yang sedikit bergetar. “Kenapa nggak boleh, silahkan” Yanto pun masuk ke dalam. Matanya bertemu dengan sosok gadis yang sangat dia sayangi, namun harus dia tinggal pergi.
“ Yan” kata Nica dengan sangat pelan. Yanto langsung memberikan senyum termanisnya. Dia langsung duduk di samping tempat tidur Nica. “Maaf” kata Yanto lembut sambil mengusap kening Nica. “Sudahlah, memang ini yang terbaik” kata Nica merelakan. “Semoga Nica dapat cowok yang terbaik” kata Yanto lembut.
“Iya. Yan jangan bilang sama fitri kalau kita putus”
“Iya. Aku nggak akan bilang sama dia. Tadi dia juga tanya tentang mobil ambulan yang datang ke sekolah kita, dan sesuai perintah mu aku nggak mengatakan kejadian sebenarnya, aku hanya bilang ada seorang anak yang jatuh dari tangga”
“Terima kasih” kata Nica pelan.
“Kring…kring” tiba-tiba HP Nica bergetar, tertera namaku di sana.
“Halo” katanya pelan.“Halo Nic, tadi aku ke rumahmu tapi kata Kak nurul kamu sedang pergi ke Bandung ya?”
“Iya fit, memangnya ada apa?”
“nggak ada apa-apa sih, tapi kenapa kamu nggak bilang sama aku kalau pergi ke bandung?” tanyaku sedikit kesal. “Maaf ya Kha, aku tiba-tiba juga, nenekku sakit jadinya aku ke sana nemanin mama”
“Oh gitu, hmm yasudah kalau gitu ya Nic, dah” lalu ku matikan telopon itu. Aku sedikit merasa lega karena Nica nggak apa-apa.
**
Sudah sebulan aku nggak bertatap muka dengan Nica, kabar yang ku dengar darinya hanya kepulangannya dari Bandung. Kami sudah sangat jarang berkomunikasi. Aku sibuk dengan urusanku dan Nicapun begitu.
Sekolah hari ini sangat membosankan, ingin bertemu Okta, tetapi dia sedang sibuk ngerjakan tugas Fisika. Aku melangkahkan kakiku dengan gontai ke kantin. Tapi langkah itu terhenti ketika ku dengar suara yang sangat nggak asing lagi di telingaku. Suara Okta. Ku dekatkan kupingku ke dinding agar lebih jelas lagi terdengar. “Aku bakal mutusin dia, aku janji Na” kata Okta dengan suara yang sedikit di lembutkan.“Dari kemarin kamu terus janji, tapi kapan? Aku capek Ta, terus jadi pacar kedua kamu” kata seorang gadis yang ku yakini dia adalah temanku, Nana.“Kasih aku waktu, ya?”
“Kapan?”Tanya Nana dengan nada marah. “sebentar lagi. Aku janji” Aku terkejut mendengar pernyataan itu. Putus? Berarti dengan aku. Okta mempermainkan ku, hatiku sakit. Padahal segalanya sudah kuberikan, waktu, tenaga dan cinta. Demi Oktapun aku membatalkan untuk ikut tes beasiswa pergi ke jepang. Tapi Okta cuman ngasih sebuah penghianatan.
⃰ ⃰ ⃰
“Aku pulang sendiri, aku lagi nggak mau pulang bareng kamu” kataku pada Okta sambil nahan marah yang udah di ujung tanduk
.“ya sudah aku pulang duluan” dia berlalu dari hadapanku, nggak seperti biasanya kalau aku nggak mau pulang sama dia, dia pasti marah, tapi kali ini dia pergi gitu aja, padahal gerimis hujan lagi beraksi membasahi bumi. Perlahan menjadi butiran besar lalu berubah menjadi hujan yang sangat ganas, aku nggak berniat sedikitpun untuk cari tempat yang teduh, supaya hujan bisa ngilangin semua rasa sakitku, aku berjalan ke depan gerbang, nggak punya tujuan, air mataku sudah nggak bisa dibedakan lagi dengan air hujan, tiba-tiba.
“Aku masih di sini fit, masih siap jadi tempat untuk mencurahkan kesedihanmu” kata seseorang dari belakangku. Suara yang membuatku hangat, membuatku sadar betapa aku rindu padanya. Punica Granatum, ya suara itu yang berbisik dengan jelasnya di telingaku. Aku menoleh ke belakang. Dengan senyum manisnya dia berdiri di bawah hujan. “Bodoh mana boleh kamu kehujanan” kataku sambil menutupkan jaket ke kepalanya. Tapi dia menolaknya.
“Untuk apa aku memakainya kalau sahabatku juga kehujanan” kata Nica dengan lembut. “Tapi…” kataku.
“Ada apa? Kenapa menangis?”
“ Aku nggak nangis” kataku bohong. Nica menggenggam tanganku.
“Aku mengenalmu, jauh sebelum kamu mengenal arti cinta sayang, aku bisa membedakan kamu sedih, atau kamu senang, kamu nangis atau nggak” aku langsung memeluknya, aku nggak berpikir untuk melakukan hal lain, kecuali meluk Nica dengan erat. “ Octa ngianatin aku, Nic” kataku dengan suara yang nggak jelas. Nica hanya diam. Dia nggak ngeluarkan suara sedikitpun. Dia cuman mengeratkan pelukkannya.
“Nica” panggil seseorang tiba-tiba dari dalam mobil. Aku melepas pelukanku, Nica menoleh. Ternyata Yanto. Yanto menyuruh kami berdua masuk ke dalam mobilnya. Nica menggandengku pelan. Setelah sampai di mobil Yanto aku kembali melakukan aksi tangisku, Nica terus membelai rambutku. Hangat dan merapikan hatiku yang hancur berkeping-keping.
“Sudah bangun sayang?” katanya ketika aku sadar. Aku sudah ada di kamarku.
“Nic” kataku pelan. “ Aku sudah dengar alasan dari Okta. Dia bilang tiba-tiba aja dia bosan sama kamu. gimana kalau kamu bicara baik-baik sama dia, tanyakan apa yang buat dia ngelakukan hal itu, aku rasa semua akan baik-baik aja. Ini cuman masalah pengertian aja” aku diam.
“Aku udah buat kue brownis kesukaanmu” kata Nica sambil mengambil kue coklat brownis dari meja. Aku tersenyum. “Besok malam kita ke tempat Mumu ya, kita rayakan ulang tahunku di sana” kata Nica sambil menyuapkan kuenya padaku.
“oh ya, besok kamu ulang tahun. Aku bakal datang. Kita rayakan bertiga aja” kataku riang.
“ bukan bertiga, tapi berempat. Emang pak satpamnya nggak dihitung?” aku langsung tertawa, lenyap sudah semua kesedihanku.
**
Aku nggak datang malam itu. Aku sudah menyelesaikan masalahku dengan Okta. Ya kami baikan. Aku sedang pergi dengan Okta untuk merayakan ulang tahun saudaranya. Aku nggak ingat dengan janjiku pada Nica bahwa hari ini kami akan merayakan ulang tahunnya di tempat Mumu, bahkan sebuah ucapan darikupun nggak ada untuknya. Malam semakin larut. Hujan mengguyur lagi kotaku. Aku baru aja sampai di rumah. Aku langsung menuju tempat tidur dan membangun mimpi-mimpiku di sana.
Pagi ini aku baru teringat akan janjiku pada Nica, aku langsung bergegas ke rumahnya. tapi rumahnya sepi. Aku merasa aneh, sepagi ini sudah nggak ada orang di rumahnya. Tiba-tiba senyum Nica terlintas di benakku. Kerinduanku memuncak. Aku langsung menelponnya tapi nggak ada yang jawaban. Aku bingung. nggak lama sebuah mobil yang sangat kuhafal berhenti di depan rumah Nica., mobil kak Nurul. Kak Nurul turun matanya menunjukkan bahwa dia sedang menangis..
“Aku kecewa sama kamu,bagiku kamu pembohong. Kamu bilang Nica nggak akan pernah tergantikan oleh siapapun bukan?, tapi pada kenyataannya kamu telah menggantikan dia dengan seorang Okta” kata kak Nurul dengan nada tinggi. Aku bingung aku nggak ngertu maksud perkataannya. “ Maksud kakak?” . “Kamu tanya maksudnya apa? kamu udah ngelupakan Nica, kamu nggaj pernah pergi lagi sekolah bareng dia, kamu nggak lagi pernah tanya pada Nica tentang apa kesedihannya, waktu dia harus putus dari Yanto karena ibunya Yanto nggak setuju sama hubungan mereka. Kamu nggak pernah nemanin Nica lagi. Dimana kamu waktu Asma Nica kambuh?waktu dia harus masuk rumah sakit?. Kamu tau, kemarin Nica udah bersiap-siap dari sore, waktu di Tanya mau apa dia?, dia jawab “aku akan ngerayakan ulang tahun sama Fitri” bahkan dia nolak ajakan mama dan papa untuk ngerayakan ultahnya di luar. Dia nunggu kamu, lima jam sampai dia kehujanan tapi kamu dimana Kha? Kamu tahu, waktu aku bilang kamu nggak nepatin janjimu, kamu telah melupakan dia, untuk apa dia tetap menyayangimu. Dia bilang apa? “ aku nggak perduli, bagiku rasa cinta dan sayang itu nggak perlu di balas” lalu aku bilang, kamu bodoh, lupakan aja sahabatmu itu, dia bilang “ aku nggak mau, karena aku tau dalam hatinya ada namaku yang lebih besar daripada siapapun, kamu nggak akan tau perasaanku, dialah yang ngerubah aku, aku menyayanginya apapun yang dia lakukan sama aku” begitu berartinya dirimu buat dia, tapi kamu nggak pernah tau Kha, kamu malah berjalan tanpa menoleh ke sekelilingmu. seolah-olah cuman Okta yang ada ngasih kamu cinta sepenuhnya. Nica terluka tapi dia berusaha untuk nggak memperdulikan” Kak Nurul nggak melanjutkan omongannya, dia menangis, ini adalah pertama kalinya aku lihat kak Nurul nangis. Aku diam dalam beberapa detik, bingung harus ngomong apa, air mataku terus mengalir dengan derasnya
“Maafin aku kak, tapi kak kasih tau aku dimana Nica kak?” .“ jangan minta maaf sama aku. Minta maaf sama ADEKKU” nada suara kak Nurul meninggi, lalu kak Nurul diam lagi, 5 detik kemudian dia melanjutkan omonganya.
“Dia…dia udah pergi, untuk selamanya!” aku terkejut, aku nggak lagi bisa berpikir, semua ini seperti sebuah halilintar dahsyat yang menyambar hatiku. Senyum Nica, lembut tangan Nica, harum tubuh Nica, belaian rambut Nica terlintas jelas di mataku, aku rindu padanya, dan sadar bahwa aku sudah lama kehilangan dia.
“Dia telah pergi, asmanya kambuh tadi malam, kami membawanya ke rumah sakit, tapi dia udah nggak bisa ditolong. Itu karena kamu, karena kamu!” kata kak Nurul sambil memukul-mukul tubuhku, nggak lama sebuah mobil ambulans datang, mama dan papa Nica keluar dari mobil itu, dia langsung menenangkan kak Nurul, nggak lama para perawat menurunkan sebuah sosok yang selalu memberiku semangat, tapi kini diam. Pucat. Bibirnya kelu. nggak ada senyum lagi di sana, cuman kenangan yang ada. “Benarkah itu dia, Punica Granatum”. Aku nggak percaya. Aku nggak mau percaya. Ini cuman mimpi. Itu bukan dia, dan dia pasti ada di kamarnya lagi nonton film kesukaanya atau lagi dengarkan lagu Nidji, ya pasti dia ada disana. Aku langsung bergegas ke dalam rumahnya, menuju kamarnya. Tapi cuman ruang kosong tanpa tuan yang ku temui, masih ada harum farfum Nica di sudut-sudut kamarnya. Masih ada hangat pelukan Nica yang tertinggal di tubuhku. Tapi beribu kali aku meyakini, tetap nggak ada dia di sini. Air mataku mengalir deras seperti hujan yang menjadi badai. Seperti ombak yang mematikan nyawa. Hanya penyesalan yang sia-sia yang tertinggal.
**
sebuah nisan itu
tertata di depan mataku
dengan kaku, dan sendu
Seorang anak ada di dalamnya
Pucat, menyelimuti tubuhnya
Seorang adik ada di dalamnya
Mati, tak berdaya
Seorang sahabat ada di dalamnya
Penuh luka jiwanya, teriris oleh rasa. Rasa cinta
Punica Granatum yang ada di sana
Bercampur tanah dan ulat-ulat yang menggelitik perlahan
Apakah kelak renkarnasi dunia akan mengembalikannya?
Atau tetap menguburnya dalam alam yang berbeda?
Pagi ini seperti tali yang mengikat manusia dengan kuatnya, tidak ada celah untuk terlepas, membuat nafas menjadi nggak bebas seperti biasanya. Aku terus menatap nisan itu, nggak melepasnya walau sedetikpun. Penyesalan-penyesalan terus menari di benakku beserta kenangan yang ternyata begitu kurindukan. Kata-kata terkunci di mulutku. cuman pelukan mama yang sedikit melegakan perasaanku. Tiba-tiba sebuah suara memanggilku. “Fit” panggil kak Nurul dari arah belakang. Membuatku bergetar hebat, membuat nyaliku ciut. “Fit” panggilnya lagi dengan lembut, aku menoleh ke belakang walau gemetar menghadang. Aku terkejut, sebuah mimik wajah yang sangat berbeda kutemui disana, kak Nurul tersenyum. “Bisa kita bicara?” lanjutnya sambil menggenggam tanganku.
”Maaf” kata kak Nurul sambil mengelus kepalaku. Aku dan dia telah pulang dari pemakaman. Saat ini kami sedang duduk di samping pos satpam. Mumu ternyata sudah besar. “Aku yang harusnya bilang seperti itu kak” kataku sambil menggendong Mumu.
“ Nica selalu cerita tentang kamu. Kamu yang buat dia dewasa. Kamu yang buat dia bahagia. Bahkah Yantopun kalah jauh dari kamu…” kak Nurul menghentikan ucapannya sebentar. Dia menghela nafas panjang, lalu melanjutkan lagi. “ Pernah aku Tanya sama dia, nggak pernahkah dia merasa bosan karena rasa sayangnya nggak di balas dengan semestinya? Lalu katanya, “nggak, kalau kita sayang sama seseorang jangan minta dia untuk balas perasaan kita, karena hal itu bukan cinta yang tulus namanya” aku kagum pada Nica, Fit. sangat kagum..” kak Ocha menangis. Tiba-tiba kak Nurul memberiku sebuah tas berwarna ungu. Lalu dia menyuruhku membukanya, dua buah surat, ku ambil satu suratnya yang bertuliskan DEAR Fitri
Fit , aku mencintaimu. Semoga kata itu mewakili seluruh perasaanku padamu. Fit , akhirnya aku tau juga tentang arti nama Punica Granatum. Punica Granatum berarti buah delima. Sebuah buah yang sangat merah dan batangnya memiliki jarum-jarum yang tidak terlalu tajam. Kata papa dia berharap aku berani berprinsip dalam hidup,seperti merahnya delima. Dan aku mampu melindungi segala yang kupunya .seperti jarum-jarum yang berkeliling di seluruh batangnya, yang selalu melindungi buah delima agar tidak di sentuh sembarangan . Aku sudah menjawab kebingunganmu kan Fit?
Fit, ketahuilah aku ingin selalu melakukan hal yang terbaik untukmu, agar kau selalu bahagia dan merasa nyaman didekatku. Tak perduli kau ada untukku selalu atau tidak, yang pasti aku ingin ada selalu untukmu. Apa aku terlalu egois?
Fit, kau adalah sahabat terbaik yang Tuhan ciptakan untukku. Menyayangimu tak membuatku sakit bahkan membuatku tambah menjadi dewasa, sahabatku teruslah tersenyum untuk dunia ini. Sahabatku kau boleh tak mencintaiku lagi tapi tolong, tolong jangan lupakan aku, tetaplah letakkan namaku dalam sejarah hidupmu. Mungkin di luar sana banyak orang sepertiku yang sangat menyayangi sahabatnya. Tapi cinta Punica pada Fitri tidak akan pernah bisa di samakan oleh siapapun.
Sahabatku aku selalu ingat betapa kau sangat bersemangat ketika berbicara tentang Jepang. Jadi jangan lepaskan impianmu pergi kesana. Aku mohon dengan sangat padamu. Ada sebuah puisi untukmu
Kau adalah sutra bagiku
Biar tersayat, aku tetap tak merasa luka
Kau adalah matahari bagiku
Biar menyengat mata, aku tetap tak merasa silau
Kau adalah nafas bagiku
Biar terkadang menyesakkan, aku tetap tak merasa akan mati
Kau adalah fitri ku
Yang selalu kuukir senyummu, dalam kamus hidupku
Sahabat yang mencintaimu
Punica Granatum
Aku menyayat sendiri hatiku, membuat luka disana dan nggak tau harus berobat kemana, ku paksakan diri untuk membuka surat yang satunya. Sebuah amplop dari lembaga pendidikan. Di dalam amplop itu sebuah nama tercantum dan dinyatakan telah lulus mengikuti tes beasiswa untuk pergi ke Jepang. Namaku. Fitri Anggraini. Aku langsung menatap wajah kak Nurul “Itu untukmu” . katanya lembut.
“Kak tapi aku nggak ikut tes ini” kata ku bingung.
”Hari itu, adalah pertama kalinya dia sangat kecewa atas tindakanmu, waktu kamu bilang nggak jadi ikut tes beasiswa gara-gara Okta ngelarang kamu. Dia langsung bergegas kerumahmu lalu minta sama mamamu mengambilkan semua yang diperlukan untuk tes. Untung saja kamu dan Nica sangat mirip jadinya ya panitia percaya aja waktu Nica datang ke kantor itu untuk mengikuti tes. Dia berusaha mendapatkan beasiswa itu untukmu, sekarang waktunya kamu meneruskannya” aku sangat terkejut begitu banyak kejutan yang kudapat dari Nica, membuat rasa bersalahku bertambah. “Jangan terus merasa bersalah” kata kak Nurul seperti dapat membaca pikiranku. Aku menganggukan kepala lalu bergegas mengambil Hp dari kantong celanaku. nggak berapa lama teleponku tersambung.
“Ta, kita putus saja” kataku dengan yakin. “Apa?” Tanya Okta dengan nada nggak percaya. “Kita putus, mungkin itu yang terbaik. Aku mau pergi ke jepang ngelanjutin sekolah di sana, makasih atas segalanya” Okta sudah mau mengeluarkan pertanyaan, tapi aku langsung menutup telepon. Lagi-lagi wajah Nica terlintas di hadapanku. tapi wajah itu buat aku lebih bersemangat. Terima kasih Nica.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
annyeong